Indonesian Blogger

Banner iskaruji dot com

Sabtu, 21 Juli 2012

Translate

Cari dengan google

Jam

Welcome too

Blogger Gadget

Blogger Gadgets

Web Sekolah

Link Edukasi

Blog Guru

Artikel

Uji Kompetensi Guru

www.m-edukasi.web.id blog guru
Sahabat Edukasi
www.m-edukasi.web.id

Selasa, 08 Mei 2012

Jaring Kubus
Proposal PTK HALAMAN JUDUL
Proposal PTK BAB I
Proposal PTK BAB II
Presentasi Matematika SPLDV 4
Presentasi Matematika SPLDV 3
Presentasi Matematika SPLDV 2
Presentasi Matematika SPLDV 1
Perangkat Pembelajaran Matematika Kelas VIII Sem. 1
Perangkat Pembelajaran Matematika Kelas VIII Sem. 2
PRESENTASI GARIS SINGGUNG
PRESENTASI "PERBANDINGAN LUAS LINGKARAN"
RPP_MATEMATIKA_BERKARAKTER_KD 8.4.4
PESERTA LOMBA KELUWESAN BERBUSANA
HARI KARTINI TH. 2012
SMP NEGERI 1 DAYEUHLUHUR

Jumat, 30 Maret 2012

Belajar Demokrasi Indonesia Melalui Matematika


Oleh : Sudarmanto, S.Pd.Si. *)

Kritik paling mendasar yang penulis terima sebagai pelaku pembelajaran matematika sekolah adalah bahwa rendahnya prestasi belajar matematika anak didik kita karena matematika yang dipelajarinya tanpa makna. Meskipun tidak dapat dipungkiri juga bahwa terpuruknya prestasi belajar matematika anak-anak kita tidak bisa dipandang dari sudut itu saja tetapi tak urung kritik semacam itu membuat penulis merasa perlu mengajak setiap kita yang peduli pendidikan untuk melihat matematika dan pmbelajarannya di sekolah, jauh lebih dalam. Banyak faktor lain yang turut berperan aktif memerosotkan prestasi belajar matematika. Namun pada kesempatan kali ini penulis hanya membatasi pembahasan pada masalah pemaknaan matematika dalam kehidupan nyata yang menurut hemat penulis, masih jauh dari ideal. Pembahasan ini menjadi lebih penting mengingat kebijakan terbaru dari Kementerian Pendidikan Nasional yang mengisyaratkan bahwa pendidikan kita harus mampu membentuk karakter para peserta didik menjadi lebih baik. Dengan mengesampingkan sementara perdebatan tentang karakter apa yang harus dikembangkan dan bagaimana pembelajaran yang mendukung ke arah tersebut, pada tataran teoritis setidaknya bisa kita sepahami bahwa pemaknaan matematika dan proses-belajar mengajarnya akan mendukung pembentukan karakter peserta didik seperti digariskan pemerintah.
Terkait dengan judul tulisan ini, mudah dipahami bahwa karakter yang penulis maksud adalah demokrasi, khususnya demokrasi Indonesia. Adapun demokrasi Indonesia yang penulis maksud adalah demokrasi yang dijiwai oleh Pancasila khususnya sila keempat yang dalam arti negatif penulis pahami sebagai demokrasi yang tidak dipimpin oleh suara terbanyak melainkan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan atau dalam pemahaman yang paling sederhana, demokrasi yang didasarkan atas kebenaran yang tertuang dalam norma–norma tertulis maupun tak tertulis yang berlaku dalam masyarakat.

Pembelajaran Matematika yang Demokratis

Jika pada masa lampau matematika dipahami sebagai kumpulan pengetahuan jadi yang harus diterima dan dihafal peserta didik tanpa ada koreksi dan tanpa pengetahuan bagaimana pengetahuan tersebut diperoleh, maka kini paham tersebut sudah banyak mengalami pergeseran bahkan dicampakkan sama sekali oleh para ahli. Namun demikian dalam praktek pembelajaran di sekolah, yang terjadi seringkali justru sebaliknya. Beberapa guru dengan beberapa alasan yang tak terbantahkan, masih saja mengajari peserta didik dengan sekumpulan pengetahuan yang dimampatkan dalam rumus-rumus. Aktifitas ini dilengkai dengan menjejali sebanyak mungkin hafalan cara mengerjakan soal-soal dengan harapan jika menghadapi soal serupa dalam Ujian Nasional, anak akan dengan mudah mengerjakan dan ujungnya akan memperoleh nilai baik dan pada ujung terakhir, gengsi sekolah akan naik.
Menggunakan model tersebut, hampir pasti anak tidak akan belajar apapun kecuali persaingan dan juga belajar bagaimana menjadi seorang otoritarian yang “diteladani” dari guru yang memposisikan diri sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas ilmu pengetahuan di dalam kelas. Jika hal tersebut tidak diharapkan, tentu diperlukan jalan keluar yang mengembalikan pembelajaran matematika pada kesejatiannya dan pada saat yang bersamaan, mendukung program pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional dan menurut penulis, pembelajaran matematika yang demokratis adalah salah satu alternatif jawaban.
Pembelajaran matematika yang demokratis sebagai salah satu alternatif jawaban tentu mengundang banyak pertanyaan lanjutan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain : apakah pembelajaran matematika yang demokratis itu, apa perbedaannya dengan pembelajaran matematika pada umumnya, bagaimana mempraktekannya di kelas, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak mudah dijawab.
Secara sederhana, pembelajaran matematika yang demokratis adalah pembelajaran matematika yang memupuk sikap demokratis semua  pelaku pembelajaran. Sikap yang dikembangkan adalah sikap demokratis yang indonesianis seperti yang penulis singgung pada awal tulisan ini. Hal tersebut sangat mungkin dilakukan karena salah satu ciri matematika adalah ilmu yang tunduk dan bertumpu pada aturan-aturan (lema, teorema, dan sejenisnya). Prinsip ini sejalan dengan prinsip demokrasi kita yang berdasarkan pada aturan bukan pada banyaknya dukungan. Kebenaran dalam matematika tidak ditentukan berjuta dukungan tetapi oleh kebenaran yang dijadikan dasar pemikiran. Meskipun demikian, bagaimana jalan menuju kebenaran tersebut, setiap pelaku belajar disilakan seluas-luasnya mengemukakan argumen dan dasar sebagai pembenaran. Bukankah demikian juga yang dikehendaki demokrasi kita? Dalam hal ini penulis tidak mendasarkan pembahasan pada praktek demokrasi kekinian kita yang menurut sebagian kalangan dinilai mendasarkan kebenaran pada banyaknya dukungan (suara) karena penulis beranggapan bahwa demokrasi yang dicita-citakan oleh para pendiri negara ini adalah demokrasi yang didasarkan pada kebenaran dan dalam rangka mencapai kebaikan bagi semua pelakunya.

Praktek Pembelajaran Matematika yang Demokratis dalam Kelas

Menurut penulis, jika kita belum mampu menjawab semua pertanyaan seperti disinggung sebelumnya, bukan berarti kita diharamkan mempraktekkannya bersama anak didik kita. Pada batas-batas tertentu, bagaimana proses belajar-mengajar di kelas berlangsung adalah menjadi kewenangan sekolah yang diturunkan menjadi kewenangan guru sebagai pengelola kelas dan tentu saja bisa dibagikan kepada peserta didik sebagai pelaku utamanya. Sampai pada titik ini, sangat dimungkinkan peserta didik untuk lebih aktif menentukan bagaimana mereka belajar dan guru bisa memposisikan diri sebagai salah satu sumber belajar sekaligus teman belajar para peserta didik. Namun demikian, seyogyanya guru tetap mempersiapkan skenario pembelajaran yang menurut pengetahuan dan pengalamannya layak dipergunakan di kelas untuk dimintakan pendapat dari para peserta didik yang pada akhirnya disepakati sebagai proses yang akan dijalankan bersama-sama. Usulan skenario dari guru ini akan mempermudah dan memperpendek waktu yang diperlukan untuk menentukan bagaimana proses belajar akan dilangsungkan.
Perencanaan yang disepakati secara bersama-sama tersebut, tidak akan membawa hasil yang diharapkan jika tidak dilakukan dengan rasa tanggung jawab secara bersama-sama pula. Keistimewaannya, karena peserta didik juga terlibat maka mereka akan lebih merasa harus menyukseskan daripada jika mereka hanya sebagai pelaksana saja. Proses pelaksanaan ini juga seyogyanya tetap mengembangkan sikap demokratis antara lain keberanian menyampaikan pendapat dan kemauan menerima pendapat orang lain yang lebih kuat dasarnya. Pada proses ini, guru bisa memposisikan diri sebagai salah satu sumber hikmat dan kebijaksanaan sebagaimana dikehendaki oleh demokrasi yang hendak dibangun. Tidak kalah pentingnya untuk disadari, bahwa demokrasi dalam perencanaan dan pelaksanaan belajar-mengajar ini harus tetap diarahkan guna mencapai keberhasilan bagi seluruh peserta didik. Jadi demokrasi yang dikembangkan bukan semata-mata untuk demokrasi itu sendiri tetapi untuk mencapai keberhasilan belajar seluruh peserta didik.
Keberhasilan pembelajaran yang sudah berjalan demokratis tersebut, akan kehilangan ruh keadilannya jika penilaian -yang dalam kadar tertentu adalah kewenangan guru, hanya dilakukan pada bagian akhir proses belajar-mengajar. Penilaian dengan segala cara (authentic assessment) adalah bagian yang tidak kalah pentingnya harus dilakukan guru. Setelah itu, sebagai sebuah proses, belajar-mengajar yang sudah dilakukan tersebut pastilah menunjukkan hasil yang berbeda antar peserta didik mengingat tingkat kemampuan belajar setiap anak berbeda satu sama lain. Disinilah peran guru untuk mengambil langkah-langkah perbaikan bagi peserta didik yang belum mencapai hasil seperti diharapkan dan pengayaan bagi peserta didik yang sudah mencapai hasil yang diharapkan.
Sebagai penutup uraian singkat ini, penulis menyadari bahwa tidak ada metode pembelajaran yang paling tepat digunakan untuk mempelajari setiap materi pelajaran. Setiap materi mempunyai karakteristik tertentu yang hanya mungkin tepat dipelajari menggunakan metode tertentu pula. Lebih dari itu, untuk mempelajari materi tertentu, tidak ada suatu metode yang paling tepat untuk setiap peserta didik. Namun demikian, pembahasan ini penulis harapkan bisa menjadi tambahan pilihan bagi setiap pelaku di semua jenjang pendidikan dengan tetap mengindahkan situasi yang melingkupi dan kondisi guru serta para peserta didik itu sendiri.


*) Penulis adalah staf pengajar di SMP Negeri 1 Dayeuhluhur Kabupaten Cilacap