Oleh : Sudarmanto, S.Pd.Si. *)
Kritik paling mendasar yang penulis terima sebagai pelaku pembelajaran
matematika sekolah adalah bahwa rendahnya prestasi belajar matematika anak
didik kita karena matematika yang dipelajarinya tanpa makna. Meskipun tidak
dapat dipungkiri juga bahwa terpuruknya prestasi belajar matematika anak-anak
kita tidak bisa dipandang dari sudut itu saja tetapi tak urung kritik semacam
itu membuat penulis merasa perlu mengajak setiap kita yang peduli pendidikan
untuk melihat matematika dan pmbelajarannya di sekolah, jauh lebih dalam.
Banyak faktor lain yang turut berperan aktif memerosotkan prestasi belajar
matematika. Namun pada kesempatan kali ini penulis hanya membatasi pembahasan
pada masalah pemaknaan matematika dalam kehidupan nyata yang menurut hemat
penulis, masih jauh dari ideal. Pembahasan ini menjadi lebih penting mengingat
kebijakan terbaru dari Kementerian Pendidikan Nasional yang mengisyaratkan
bahwa pendidikan kita harus mampu membentuk karakter para peserta didik menjadi
lebih baik. Dengan mengesampingkan sementara perdebatan tentang karakter apa
yang harus dikembangkan dan bagaimana pembelajaran yang mendukung ke arah
tersebut, pada tataran teoritis setidaknya bisa kita sepahami bahwa pemaknaan
matematika dan proses-belajar mengajarnya akan mendukung pembentukan karakter
peserta didik seperti digariskan pemerintah.
Terkait dengan judul tulisan ini, mudah dipahami bahwa karakter yang
penulis maksud adalah demokrasi, khususnya demokrasi Indonesia . Adapun demokrasi
Indonesia yang penulis maksud adalah demokrasi yang dijiwai oleh Pancasila
khususnya sila keempat yang dalam arti negatif penulis pahami sebagai demokrasi
yang tidak dipimpin oleh suara
terbanyak melainkan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan atau dalam pemahaman
yang paling sederhana, demokrasi yang didasarkan atas kebenaran yang tertuang
dalam norma–norma tertulis maupun tak tertulis yang berlaku dalam masyarakat.
Pembelajaran Matematika yang Demokratis
Jika pada masa lampau matematika dipahami sebagai kumpulan pengetahuan
jadi yang harus diterima dan dihafal peserta didik tanpa ada koreksi dan tanpa
pengetahuan bagaimana pengetahuan tersebut diperoleh, maka kini paham tersebut
sudah banyak mengalami pergeseran bahkan dicampakkan sama sekali oleh para ahli.
Namun demikian dalam praktek pembelajaran di sekolah, yang terjadi seringkali justru
sebaliknya. Beberapa guru dengan beberapa alasan yang tak terbantahkan, masih
saja mengajari peserta didik dengan sekumpulan pengetahuan yang dimampatkan
dalam rumus-rumus. Aktifitas ini dilengkai dengan menjejali sebanyak mungkin
hafalan cara mengerjakan soal-soal dengan harapan jika menghadapi soal serupa
dalam Ujian Nasional, anak akan dengan mudah mengerjakan dan ujungnya akan
memperoleh nilai baik dan pada ujung terakhir, gengsi sekolah akan naik.
Menggunakan model tersebut, hampir pasti anak tidak akan belajar apapun
kecuali persaingan dan juga belajar bagaimana menjadi seorang otoritarian yang
“diteladani” dari guru yang memposisikan diri sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi atas ilmu pengetahuan
di dalam kelas. Jika hal tersebut tidak diharapkan, tentu diperlukan jalan
keluar yang mengembalikan pembelajaran matematika pada kesejatiannya dan pada
saat yang bersamaan, mendukung program pemerintah dalam hal ini Kementerian
Pendidikan Nasional dan menurut penulis, pembelajaran matematika yang
demokratis adalah salah satu alternatif jawaban.
Pembelajaran matematika yang demokratis sebagai salah satu alternatif jawaban
tentu mengundang banyak pertanyaan lanjutan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
antara lain : apakah pembelajaran matematika yang demokratis itu, apa perbedaannya
dengan pembelajaran matematika pada umumnya, bagaimana mempraktekannya di
kelas, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak mudah dijawab.
Secara sederhana, pembelajaran matematika yang demokratis adalah
pembelajaran matematika yang memupuk sikap demokratis semua pelaku pembelajaran. Sikap yang dikembangkan
adalah sikap demokratis yang indonesianis seperti yang penulis singgung pada
awal tulisan ini. Hal tersebut sangat mungkin dilakukan karena salah satu ciri matematika
adalah ilmu yang tunduk dan bertumpu pada aturan-aturan (lema, teorema, dan
sejenisnya). Prinsip ini sejalan dengan prinsip demokrasi kita yang berdasarkan
pada aturan bukan pada banyaknya dukungan. Kebenaran dalam matematika tidak
ditentukan berjuta dukungan tetapi oleh kebenaran yang dijadikan dasar
pemikiran. Meskipun demikian, bagaimana jalan menuju kebenaran tersebut, setiap
pelaku belajar disilakan seluas-luasnya mengemukakan argumen dan dasar sebagai
pembenaran. Bukankah demikian juga yang dikehendaki demokrasi kita? Dalam hal
ini penulis tidak mendasarkan pembahasan pada praktek demokrasi kekinian kita
yang menurut sebagian kalangan dinilai mendasarkan kebenaran pada banyaknya
dukungan (suara) karena penulis beranggapan bahwa demokrasi yang dicita-citakan
oleh para pendiri negara ini adalah demokrasi yang didasarkan pada kebenaran
dan dalam rangka mencapai kebaikan bagi semua pelakunya.
Praktek Pembelajaran Matematika yang
Demokratis dalam Kelas
Menurut penulis, jika kita belum mampu menjawab semua pertanyaan seperti
disinggung sebelumnya, bukan berarti kita diharamkan mempraktekkannya bersama
anak didik kita. Pada batas-batas tertentu, bagaimana proses belajar-mengajar
di kelas berlangsung adalah menjadi kewenangan sekolah yang diturunkan menjadi
kewenangan guru sebagai pengelola kelas dan tentu saja bisa dibagikan kepada
peserta didik sebagai pelaku utamanya. Sampai pada titik ini, sangat
dimungkinkan peserta didik untuk lebih aktif menentukan bagaimana mereka
belajar dan guru bisa memposisikan diri sebagai salah satu sumber belajar
sekaligus teman belajar para peserta didik. Namun demikian, seyogyanya guru
tetap mempersiapkan skenario pembelajaran yang menurut pengetahuan dan
pengalamannya layak dipergunakan di kelas untuk dimintakan pendapat dari para
peserta didik yang pada akhirnya disepakati sebagai proses yang akan dijalankan
bersama-sama. Usulan skenario dari guru ini akan mempermudah dan memperpendek
waktu yang diperlukan untuk menentukan bagaimana proses belajar akan
dilangsungkan.
Perencanaan yang disepakati secara bersama-sama tersebut, tidak akan
membawa hasil yang diharapkan jika tidak dilakukan dengan rasa tanggung jawab secara
bersama-sama pula. Keistimewaannya, karena peserta didik juga terlibat maka
mereka akan lebih merasa harus menyukseskan daripada jika mereka hanya sebagai
pelaksana saja. Proses pelaksanaan ini juga seyogyanya tetap mengembangkan
sikap demokratis antara lain keberanian menyampaikan pendapat dan kemauan
menerima pendapat orang lain yang lebih kuat dasarnya. Pada proses ini, guru
bisa memposisikan diri sebagai salah satu sumber hikmat dan kebijaksanaan
sebagaimana dikehendaki oleh demokrasi yang hendak dibangun. Tidak kalah
pentingnya untuk disadari, bahwa demokrasi dalam perencanaan dan pelaksanaan
belajar-mengajar ini harus tetap diarahkan guna mencapai keberhasilan bagi
seluruh peserta didik. Jadi demokrasi yang dikembangkan bukan semata-mata untuk
demokrasi itu sendiri tetapi untuk mencapai keberhasilan belajar seluruh peserta
didik.
Keberhasilan pembelajaran yang sudah berjalan demokratis tersebut, akan
kehilangan ruh keadilannya jika penilaian -yang dalam kadar tertentu adalah
kewenangan guru, hanya dilakukan pada bagian akhir proses belajar-mengajar.
Penilaian dengan segala cara (authentic
assessment) adalah bagian yang tidak kalah pentingnya harus dilakukan guru.
Setelah itu, sebagai sebuah proses, belajar-mengajar yang sudah dilakukan
tersebut pastilah menunjukkan hasil yang berbeda antar peserta didik mengingat
tingkat kemampuan belajar setiap anak berbeda satu sama lain. Disinilah peran
guru untuk mengambil langkah-langkah perbaikan bagi peserta didik yang belum
mencapai hasil seperti diharapkan dan pengayaan bagi peserta didik yang sudah
mencapai hasil yang diharapkan.
Sebagai penutup uraian singkat ini, penulis menyadari bahwa tidak ada
metode pembelajaran yang paling tepat digunakan untuk mempelajari setiap materi
pelajaran. Setiap materi mempunyai karakteristik tertentu yang hanya mungkin
tepat dipelajari menggunakan metode tertentu pula. Lebih dari itu, untuk
mempelajari materi tertentu, tidak ada suatu metode yang paling tepat untuk
setiap peserta didik. Namun demikian, pembahasan ini penulis harapkan bisa
menjadi tambahan pilihan bagi setiap pelaku di semua jenjang pendidikan dengan
tetap mengindahkan situasi yang melingkupi dan kondisi guru serta para peserta
didik itu sendiri.
*) Penulis adalah staf pengajar di SMP Negeri 1 Dayeuhluhur Kabupaten
Cilacap